Oleh Abi Sabila
Siang itu, aku dan empat orang rekan kerjaku pergi ke daerah Bintaro untuk satu keperluan. Meski tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, alhamdulillah kami mendapatkan kemudahan, mulai dari izin hingga kendaraan.
Berlima kami pergi menggunakan mobil yang kami pinjam dari manager produksi. Aku sengaja mengambil duduk di bangku tengah agar bisa beristirahat dengan nyaman. Meski tempat yang kami tuju sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi bisa memakan waktu lebih dari satu jam karena jalan yang kami pilih melewati beberapa titik yang terkenal rawan macet. Lumayan, jika aku bisa memejamkan mata barang sesaat badanku akan sedikit lebih segar saat tiba di tujuan, begitu pikirku.
Tapi harapanku untuk bisa beristirahat dengan nyaman selama dalam perjalanan tak menjadi kenyataan. Obrolan rekan-rekanku sepanjang perjalanan membuyarkan rasa kantukku. Obrolan mengalir seakan tak pernah putus, ada saja yang dibicarakan. Mulai dari keluarga, pekerjan hingga apapun yang kami temui di jalan. Kebetulan kami berlima bekerja dalam divisi yang berbeda, apa yang dibicarakan dan gaya berceritanyapun berbeda-beda. Hal ini menambah hidup suasana.
Namun perbincangan yang semula ringan dan menyegarkan, perlahan mulai menunjukan tanda-tanda kurang mengenakan. Jika awalnya hanya membicarakan iklan-iklan handphone yang terpampang di sepanjang jalan, berebut konsumen dengan persaingan harga yang ‘jor-joran’, atau tentang spanduk berbagai operator telepon selular yang sarat dengan ‘tipuan’, maka memasuki gerbang tol pembicaraan beralih pada para penjaga gardu tol yang kebetulan semuanya adalah perempuan.
Berbagai komentar muncul setiap kali melewati gardu tol yang entah kebetulan atau memang diatur demikian, semua penjaganya adalah perempuan. Bukan, bukan mengomentari perjuangan para perempuan ini menjemput rizki, tapi tentang tampilan fisik mereka. Astaghfirulloh!
Aku mulai terganggu dengan cara rekan perjalananku berkomentar. Tapi aku juga tak segera menemukan cara yang tepat untuk menghentikan. Beruntung suasana ini tidak berlarut-larut karena salah satu rekan yang duduk disebelahku mengeluarkan pendapat yang bukan saja bijak menurutku tapi juga ‘manjur’ efeknya. “Kalau aku sih terus terang saja tidak bisa menilai. Menurutku semua perempuan itu cantik, tidak ada yang jelek. Kalau ada yang lebih cantik dari yang lainnya, itu mungkin. Tapi prinsipnya perempuan itu cantik, tinggal bagaimana mereka menjaga diri, hati dan juga tingkah lakunya.”
Alhamdulillah, tiga rekanku yang tadinya asyik saling memberikan komentar, perlahan mengalihkan pembicaraan. Entahlah, tapi aku berharap mereka tersadar bahwa komentar-komentar mereka sangat subjektif bahkan mulai berlebihan. Bolehlah mereka memberikan penilaian, tapi jangan sampai mencela fisik orang, karena itu sama saja menghina Allah sebagai penciptanya.
Allah menciptakan manusia dengan sebaik-baik keadaan. Indah dan sempurna, tidak kurang dan tidak pula ada yang sia-sia. Tapi terkadang kita memberikan penilaian yang berlebihan pada fisik seseorang hingga tak sadar kita sudah mencelanya. Pendek, jelek, kurus, gembrot, hitam dan lain sebagainya. Padahal jika boleh meminta, setiap orang ingin terlahir dengan fisik yang ideal. Tapi Allah memiliki rahasia dengan setiap ciptaan Nya, dan Allah tak pernah memandang hamba Nya dari fisik, tapi ketaqwaannya. Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang ‘sempurna’, mengapa tiba-tiba kita merasa berhak untuk mencelanya?
Penilaian tentang kecantikan atau ketampanan seseorang itu sangat subjektif, tergantung selera masing-masing orang. Sangat mungkin seseorang mengatakan si A cantik, namun yang lain mengatakan sebaliknya. Tidak aneh jika seseorang mengatakan si A memiliki fisik yang ideal, namun yang lain mengatakan terlalu begini atau kurang begitu. Ini sering terjadi dan tidak perlu dipermasalahkan. Semua berpangkal pada selera yang berbeda. Tidak bisa dan tidak boleh memaksa. Menilai orang lain boleh-boleh saja, namun janganlah berlebihan. Wajar-wajar saja dan terutama jangan mencela. Seperti apapun kondisi fisik seseorang, Allahlah yang menciptakannya, hak apa kita kemudian mencelanya?
http://abisabila.blogspot.com
Berikan Tip Agar Blog Ini Lebih Baik
Siang itu, aku dan empat orang rekan kerjaku pergi ke daerah Bintaro untuk satu keperluan. Meski tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, alhamdulillah kami mendapatkan kemudahan, mulai dari izin hingga kendaraan.
Berlima kami pergi menggunakan mobil yang kami pinjam dari manager produksi. Aku sengaja mengambil duduk di bangku tengah agar bisa beristirahat dengan nyaman. Meski tempat yang kami tuju sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi bisa memakan waktu lebih dari satu jam karena jalan yang kami pilih melewati beberapa titik yang terkenal rawan macet. Lumayan, jika aku bisa memejamkan mata barang sesaat badanku akan sedikit lebih segar saat tiba di tujuan, begitu pikirku.
Tapi harapanku untuk bisa beristirahat dengan nyaman selama dalam perjalanan tak menjadi kenyataan. Obrolan rekan-rekanku sepanjang perjalanan membuyarkan rasa kantukku. Obrolan mengalir seakan tak pernah putus, ada saja yang dibicarakan. Mulai dari keluarga, pekerjan hingga apapun yang kami temui di jalan. Kebetulan kami berlima bekerja dalam divisi yang berbeda, apa yang dibicarakan dan gaya berceritanyapun berbeda-beda. Hal ini menambah hidup suasana.
Namun perbincangan yang semula ringan dan menyegarkan, perlahan mulai menunjukan tanda-tanda kurang mengenakan. Jika awalnya hanya membicarakan iklan-iklan handphone yang terpampang di sepanjang jalan, berebut konsumen dengan persaingan harga yang ‘jor-joran’, atau tentang spanduk berbagai operator telepon selular yang sarat dengan ‘tipuan’, maka memasuki gerbang tol pembicaraan beralih pada para penjaga gardu tol yang kebetulan semuanya adalah perempuan.
Berbagai komentar muncul setiap kali melewati gardu tol yang entah kebetulan atau memang diatur demikian, semua penjaganya adalah perempuan. Bukan, bukan mengomentari perjuangan para perempuan ini menjemput rizki, tapi tentang tampilan fisik mereka. Astaghfirulloh!
Aku mulai terganggu dengan cara rekan perjalananku berkomentar. Tapi aku juga tak segera menemukan cara yang tepat untuk menghentikan. Beruntung suasana ini tidak berlarut-larut karena salah satu rekan yang duduk disebelahku mengeluarkan pendapat yang bukan saja bijak menurutku tapi juga ‘manjur’ efeknya. “Kalau aku sih terus terang saja tidak bisa menilai. Menurutku semua perempuan itu cantik, tidak ada yang jelek. Kalau ada yang lebih cantik dari yang lainnya, itu mungkin. Tapi prinsipnya perempuan itu cantik, tinggal bagaimana mereka menjaga diri, hati dan juga tingkah lakunya.”
Alhamdulillah, tiga rekanku yang tadinya asyik saling memberikan komentar, perlahan mengalihkan pembicaraan. Entahlah, tapi aku berharap mereka tersadar bahwa komentar-komentar mereka sangat subjektif bahkan mulai berlebihan. Bolehlah mereka memberikan penilaian, tapi jangan sampai mencela fisik orang, karena itu sama saja menghina Allah sebagai penciptanya.
Allah menciptakan manusia dengan sebaik-baik keadaan. Indah dan sempurna, tidak kurang dan tidak pula ada yang sia-sia. Tapi terkadang kita memberikan penilaian yang berlebihan pada fisik seseorang hingga tak sadar kita sudah mencelanya. Pendek, jelek, kurus, gembrot, hitam dan lain sebagainya. Padahal jika boleh meminta, setiap orang ingin terlahir dengan fisik yang ideal. Tapi Allah memiliki rahasia dengan setiap ciptaan Nya, dan Allah tak pernah memandang hamba Nya dari fisik, tapi ketaqwaannya. Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang ‘sempurna’, mengapa tiba-tiba kita merasa berhak untuk mencelanya?
Penilaian tentang kecantikan atau ketampanan seseorang itu sangat subjektif, tergantung selera masing-masing orang. Sangat mungkin seseorang mengatakan si A cantik, namun yang lain mengatakan sebaliknya. Tidak aneh jika seseorang mengatakan si A memiliki fisik yang ideal, namun yang lain mengatakan terlalu begini atau kurang begitu. Ini sering terjadi dan tidak perlu dipermasalahkan. Semua berpangkal pada selera yang berbeda. Tidak bisa dan tidak boleh memaksa. Menilai orang lain boleh-boleh saja, namun janganlah berlebihan. Wajar-wajar saja dan terutama jangan mencela. Seperti apapun kondisi fisik seseorang, Allahlah yang menciptakannya, hak apa kita kemudian mencelanya?
http://abisabila.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AYO berikan komentar yang RELEVAN dengan konten, kami berharap berupa masukan atau tambahan informasi. Agar bisa menambah wawasan kita semua.
Berkomentarlah dengan Bijak dan CERDAS :)